9/17/10

Paradigma Gerakan KAMMI


Paradigma Gerakan KAMMI :
1. Dakwah Tauhid
2. Intelektual Profetik
3. Sosial Independen
4. Politik Ekstraparlementer

Baca selengkapnya>>

8/5/10

Kader KAMMI Meraih Mahasiswa Berprestasi UGM

Anggapan bahwa aktivis itu tidak sukses di dunia akademis telah terbukti salah. Ahmad Nasikun telah membuktikannya dengan prestasi. Mahasiswa Teknik UGM yang aktif di KAMMI dan penggiat Sosmas BEM KM UGM ini, meraih prestasi sebagai Mahasiswa Berprestasi UGM 2010 dan prestasi membanggakan lainnya.    
    Keterlibatan dirinya dalam beragam program Sosial Kemasyarakatan (Sosmas) KAMMI dan BEM KM UGM membuat dirinya tidak sungkan

Baca selengkapnya>>

Bagaimana bergabung dengan KAMMI

Pertanyaan ini biasanya muncul di benak Mahasiswa baru yang ingin mengembangkan potensi dirinya, juga memaksimalkan pembelajaran di kampus yang hanya 4 atau 5 tahun. Usia kampus yang sangat singkat itu menuntus rencana yang matang, termasuk pilihan mengembangkan kapasitas emosional, spiritual, juga kepemimpinan di kampus. Dan pilihan bergabung dengan KAMM adalah pilihan cerdas dan benar.

Untuk bergabung dengan KAMMI, teman-teman hanya perlu  menjadi Anggota Biasa 1 (AB 1) KAMMI. AB 1 KAMMI dapat diperoleh

Baca selengkapnya>>

Korps Da'i Kamda Sleman; Menebar Dakwah di Bulan Ramadahan

Keberkahan Ramadhan  kini menyapa umat Islam di Seluruh Dunia. Tak kalah dengan semarak Piala Dunia, Ramadhan menghadirkan suasana yang khas dan istimewa bagi manusia di muka bumi, khususnya ummat Islam. Semua berlomba-lomba meraih segala keistimewaan Ramadhan.
    Semangat ini pula yang KAMMI Daerah Sleman yang meluncurkan program Korps Da’i KAMMI sebagai upayamemberikan kontribusi nyata bagi dakwah Islam di Sleman, serta menjadi sarana pembelajaran bagi kader-kader KAMMI yang terlibat dalam korps da’i.
    Menurut penanggung jawab program Siti Amriah atau yang akrab dipanggil Ria, pada Ramadhan kali ini KAMMI Sleman merekrut seratus da’i yang siap diterjunkan di berbagai masjid/mushola di kawasan Yogyakarta bagian utara, tepatnya di daerah Cangkringan. Para da’i-da’i akan mengisi ceramah tarawih ataupun kultum, juga kegiatan ramadhan lainnya.

Baca selengkapnya>>

7 alasan bergabung dengan KAMMI

1. KAMMI adalah gerakan Dakwah Tauhid yang mencita-citakan perbaikan bangsa melalui solusi-solusi Islam,
2. KAMMI dikenal luas sebagai gerakan mahasiswa yang solid, sholeh, dan santun serta memiliki massa/anggota yang besar,
3. Kader-kader KAMMI telah membuktikan raihan prestasi di bidang akademik, entrepreneur, sosial-politik, hingga kebudayaan,
4.  KAMMI memiliki jaringan gerakan yang luas di seluruh Indonesia,

Baca selengkapnya>>

6/27/10

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.

Baca selengkapnya>>

6/20/10

SEJARAH UGM

Gedung SMT Kotabaru, 24 Januari 1946, kelihatan dipenuhi pengunjung. Mereka adalah orang-orang yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap peningkatan martabat manusia Indonesia. Di antara mereka teriihat Mr. Boediarto, Ir. Marsito, Prof. Dr. Prijono, Mr. Soenarjo, Dr. Soleiman, Dr. Buntaran, Dr. Soeharto. Mereka bermaksud mendirikan Balai Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta.

Dalam pertemuan itu, Mr. Soenarjo, menegaskan bahwa di Jakarta, NICA sudah mendirikan Universitas. Bangsa Indonesia tidak boleh gagal mendirikan universitas. "Lebih- lebih sekarang, pada waktu pembangunan, waktu kita butuhkan bermacam-macam ilmu pengetahuan", tambah Mr. Soenarjo.

Pertemuan di atas diikuti oleh beberapa pertemuan berikutnya, salah satunya adalah pertemuan di Gedung KNI Malioboro, tanggal 3 Maret 1946. Dalam pertemuan ini, diumumkan berdirinya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, yang terdiri atas Fakultas Hukum dan Fakultas Kesusasteraan.

Baca selengkapnya>>

Rahasia Kecerdasan Yahudi

Artikel Dr Stephen Carr Leon patut menjadi renungan bersama. Stephen menulis dari pengamatan langsung. Setelah berada tiga tahun di Israel karena menjalani housemanship di beberapa rumah sakit di sana. Dirinya melihat ada beberapa hal yang menarik yang dapat ditarik sebagai bahan tesisnya, yaitu, "Mengapa Yahudi Pintar?"

Ketika tahun kedua, akhir bulan Desember 1980, Stephen sedang menghitung hari untuk pulang ke California , terlintas di benaknya, apa sebabnya Yahudi begitu pintar? Kenapa Tuhan memberi kelebihan kepada mereka? Apakah ini suatu kebetulan? Atau hasil usaha sendiri?

Maka Stephen tergerak membuat tesis untuk Phd-nya. Sekadar untuk Anda ketahui, tesis ini memakan waktu hampir delapan tahun. Karena harus mengumpulkan data-data yang setepat mungkin.

Baca selengkapnya>>

ASAL USUL NAMA INDONESIA

Saya yakin bahwa sebagian besar Warga Negara Indonesia tidak mengetahui secara pasti bagaimana sejarah Nama Indonesia, kalaupun ada yang tahu itu dipastikan hanya sekian persen dari keseluruhan Warga Negara Indonesia. Padahal sangatlah penting kita mengetahui bagaimana asal usul nama Indonesia yang sekarang ini kita pakai.

Didalam mata pelajaran sejarahpun, asal muasal nama Indonesia hampir tidak ada, kalaupun ada hanya sedikit yang menyinggungnya, makanya ketika saya iseng-iseng nanya pada seorang pelajar SMU baru-baru ini tentang sejarah nama Indonesia, saya tidak heran ketika si pelajar mengatakan tidak tahu dan tidak hapal.Untuk itu mari kita berbagai cerita mengenai asal usul nama Indonesia.

Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa Indoa menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).

Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).

Eduard Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.

Nusantara

Pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker ( 1879 – 1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh JLA. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).

Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl ( 1813 – 1865 ), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:

"... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians".

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ( Srilanka ) dan Maladewa. Earl berpendapat juga bahwa nahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:

"Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago".

Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 ) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia).

Identitas Politik

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:

"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924). Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda menolak mosi ini.

Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda". Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia.

dari berbagai sumber
OLEH JOY SETIAWAN


http://indonesiakemarin.blogspot.com/2007/09/asal-usul-nama-indonesia.html

Baca selengkapnya>>

6/17/10

Mengenang Seabad Mohammad Natsir

Bagi umat Islam Indonesia, nama Natsir tentu sudah sangat tidak asing. Seabad pemikiran Islam ini dibedah. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke 213
Oleh: Adian Husaini

Kamis (15 November 2007), di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, digelar sebuah acara peluncuran panitia Refleksi Seabad Moh. Natsir: Pemikiran dan Perjuangannya. Sejumlah tokoh Islam dan pejabat tinggi negara tampak hadir, diantaranya Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Syuhada Bahri, Ketua MUI KH Khalil Ridwan, Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly As-Shiddiqy, Menteri Sosial Bakhtiar Chamsah, Wakil Ketua MPR AM Fatwa, dan sebagainya. Tampil sebagai pembicara dalam seminar Prof. Dr. Ichlasul Amal, Ketua Dewan Pers yang juga mantan rektor UGM Yogya.

Moh. Natsir lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Karena itu, puncak peringatan seabad Moh. Natsir akan dijadwalkan pada 17 Juli 2008. Tetapi, berbagai persiapan telah dilakukan oleh panitia. Duduk sebagai ketua kehormatan dalam panitia ini adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Bagi umat Islam Indonesia, nama Natsir tentu sudah sangat tidak asing. Ia adalah seorang pemikir, dai, politisi, dan sekaligus pendidik Islam terkemuka. Ia dikenal sebagai tokoh, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Dalam sambutannya, Ketua Umum Dewan Da’wah, Syuhada Bahri menggambarkan Natsir sebagai pribadi yang sangat unik. Menurut Syuhada, bidang apa pun yang digeluti Moh. Natsir, visinya sebagai dai dan pendidik senantiasa menonjol. Secara panjang lebar Syuhada menceritakan pengalaman pribadinya selama lima tahun bekerja satu ruang dengan Natsir.


Jika kita membuka lembaran hidup Natsir, kita memang menemukan sebuah perjalanan hidup yang menarik. Sebagai politisi, Natsir pernah menduduki posisi Perdana MenteriRI pertama tahun 1950-1951, setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jasa Natsir dalam soal terbentuknya NKRI ini sangat besar. Pada 3 April 1950, sebagai anggota parlemen, Natsir mengajukan mosi dalam Sidang Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Mosi itulah yang dikenal sebagai ”Mosi Integral Natsir”), yang memungkinkan bersatunya kembali 17 Negara Bagian ke dalam NKRI. Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam sambutannya, juga menekankan jasa besar Natsir dalam soal NKRI ini, sehingga bangsa Indonesia sangat layak memberi penghargaan kepada Natsir. Selain itu, Natsir juga berulang kali duduk sebagai menteri dalam sejumlah kabinet.

Dalam kesempatan itu, Mensos Bachtiar Chamsah mengakui, bahwa dirinya, sebagai Menteri, sudah mengajukan Natsir agar diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Usulan itu didasarkan atas usulan dari Pemda Sumatera Barat. Tetapi, tahun ini, usulan itu masih terganjal. Bachtiar tidak menjelaskan mengapa usulan itu Natsir ditolak oleh pihak Istana Kepresidenan. Yang jelas, katanya, tahun depan, dia akan mengajukan usulan yang sama. Banyak yang menduga, keterlibatan Natsir dalam PRRI merupakan faktor utama terganjalnya usulan tersebut.
Tetapi, baik keluarga maupun para pelanjut perjuangan Moh. Natsir tidak terlalu mempersoalkan hal itu. Natsir bukan hanya pahlawan bagi Indonesia. Tetapi, dunia Islam sudah mengakuinya sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Tahun 1957, Natsir menerima bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada ulama besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la al-Maududi. Karena itulah, hingga akhir hayatnya, tahun 1993, Natsir masih menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami.

Adalah menarik jika menilik riwayat pendidikan Natsir. Tahun 1916-1923 Natsir memasuki HIS (HollandsInlandscheSchool) di Solok. Sore harinya, ia menimba ilmu di Madrasah Diniyah. Tahun 1923-1927, Natsir memasuki jenjang sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Lalu, pada 1927-1930, ia memasuki jenjang sekolah lanjutan atas di AMS (AlgemeneMiddelbareSchool) di Bandung. Lulus dengan nilai tinggi, ia sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi.

Tetapi, semua peluang itu tidak diambil oleh Natsir, yang ketika itu sudah mulai tertarik kepada masalah-masalah Islam dan gerakan Islam. Natsir mengambil sebuah pilihan yang berani, dengan memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan Ustad A. Hasan. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.

Natsir memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Syuhada Bahri menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir Al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hasan.
Kecintaan Natsir di bidang pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan besar dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya. Tahun 1984, Natsir juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok Pesantren Indonesia. Di bidang pemikiran, tahun 1991, Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia.

Natsir memang bukan sekedar ilmuwan dan penulis biasa. Tulisan-tulisannya mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam. Ia menulis puluhan buku dan ratusan artikel tentang berbagai masalah dalam Islam. Menurut Mensos Bachtiar Chamsah, tulisan-tulisan Natsir menyentuh hati orang yang membacanya.

[Depok, 16 November 2007/www.hidayatullah.com]

Baca selengkapnya>>

Soekarno Menggugat

Oleh Asvi Warman Adam*

Tidak banyak diketahui umum bahwa tahun 1965-1967 Presiden Soekarno sempat berpidato paling sedikit sebanyak 103 kali. Yang diingat orang hanyalah pidato pertanggungjawabannya, Nawaksara, yang ditolak MPRS tahun 1967. Dalam memperingati 100 tahun Bung Karno, tahun 2001 telah diterbitkan kumpulan pidatonya. Namun, hampir semuanya disampaikan sebelum peristiwa G30S 1965.

Kumpulan naskah ini diawali pidato 30 September 1965 malam (di depan Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan, Jakarta) dan diakhiri pidato 15 Februari 1967 (pelantikan beberapa Duta Besar RI). Pidato-pidato Bung Karno (BK) selama dua tahun itu amat berharga sebagai sumber sejarah. Ia mengungkapkan aneka hal yang ditutupi bahkan diputarbalikkan selama Orde Baru. Dari pidato itu juga tergambar betapa sengitnya peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Di pihak lain, terlihat pula kegetiran seorang presiden yang ucapannya tidak didengar bahkan dipelintir. Soekarno marah. Ia memaki dalam bahasa Belanda.
Konteks pidato

Periode 1965-1967 dapat dilihat sebagai masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Dalam versi pemerintah, masa ini dilukiskan sebagai era konsolidasi kekuatan pendukung Orde Baru (tentara, mahasiswa, dan rakyat) untuk membasmi PKI sampai ke akarnya serta pembersihan para pendukung Soekarno.

Mulai tahun 1998 di Tanah Air dikenal beberapa versi sejarah yang berbeda. Selain menonjolkan keterlibatan pihak asing seperti CIA, juga muncul tudingan terhadap keterlibatan Soeharto dalam "kudeta merangkak", yaitu rangkaian tindakan dari awal Oktober 1965 sampai keluarnya Supersemar (Surat perintah 11 Maret 1966) dan ditetapkannya Soeharto sebagai pejabat Presiden tahun 1967. "Kudeta merangkak" terdiri dari beberapa versi (Saskia Wieringa, Peter Dale Scott, dan Subandrio) dan beberapa tahap.

Substansi pidato

Setelah peristiwa G30S, Soekarno berusaha mengendalikan keadaan melalui pidato-pidatonya.

"Saya komandokan kepada segenap aparat negara untuk selalu membina persatuan dan kesatuan seluruh kekuatan progresif revolusioner. Dua, Menyingkirkan jauh-jauh tindakan-tindakan destruktif seperti rasialisme, pembakaran-pembakaran, dan perusakan-perusakan. Tiga, menyingkirkan jauh-jauh fitnahan-fitnahan dan tindakan-tindakan atas dasar perasaan balas dendam."

Ia juga menyerukan "Awas adu domba antar-Angkatan, jangan mau dibakar. Jangan gontok-gontokan. Jangan hilang akal. Jangan bakar-bakar, jangan ditunggangi". Dalam pidato ia menyinggung Trade Commission Republik Rakyat Tiongkok di Jati Petamburan yang diserbu massa karena ada isu Juanda meninggal diracun dokter RRT. Padahal, beliau wafat akibat serangan jantung. Soekarno menentang rasialisme yang menjadikan warga Tionghoa sebagai kambing hitam.

Dalam pidato 20 November 1965 di depan keempat panglima Angkatan di Istana Bogor BK mengatakan, "Ada perwira yang bergudul. Bergudul itu apa? Hei, Bung apa itu bergudul? Ya, kepala batu." Tampaknya ucapannya itu ditujukan kepada Soeharto. Pada kesempatan yang sama Soekarno menegaskan, "Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio. Bukan Leimena…. Bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto, dan seterusnya (berbeda dengan nama tokoh lain, Soeharto disebut dua kali dan secara berturut-turut).

Mengapa Soekarno tak mau membubarkan PKI, padahal ini alasan utama kelompok Soeharto menjatuhkannya dari presiden. Karena dia konsisten dengan pandangan sejak tahun 1925 tentang Nas (Nasionalisme), A (Agama), dan Kom (Komunisme). Dalam pidato ia menegaskan, yang dimaksudkan dengan Kom bukanlah Komunisme dalam pengertian sempit, melainkan Marxisme atau lebih tepat "Sosialisme". Meskipun demikian Soekarno bersaksi "saya bukan komunis". Bung Karno juga mengungkapkan keterlibatan pihak asing yang memberi orang Indonesia uang Rp 150 juta guna mengembangkan "the free world ideology". Ia berseru di depan diplomat asing di Jakarta, "Ambassador jangan subversi."

Tanggal 12 Desember 1965 ketika berpidato dalam rangka ulang tahun Kantor Berita Antara di Bogor, Presiden mengatakan tidak ada kemaluan yang dipotong dalam peristiwa di Lubang Buaya. Demikian pula tidak ada mata yang dicungkil seperti ditulis pers.

Peristiwa pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Soekarno dalam pidato di depan HMI di Bogor 18 Desember 1965. Soekarno mengatakan pembunuhan itu dilakukan dengan sadis, orang bahkan tidak berani menguburkan korban.

"Awas kalau kau berani ngrumat jenazah, engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja di bawah pohon, di pinggir sungai, dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati."

Dalam kesempatan sama, Bung Karno sempat bercanda di depan mahasiswa itu, "saya sudah 65 tahun meski menurut Ibu Hartini seperti baru 28 tahun. Saya juga melihat Ibu Hartini seperti 21 tahun."

Gaya bahasa Soekarno memang khas. Ia tidak segan memakai kata kasar tetapi spontan. Beda dengan Soeharto yang memakai bahasa halus tetapi tindakannya keras. Di tengah sidang kabinet, di depan para Menteri, Presiden Soekarno tak segan mengatakan "mau kencing dulu" jika ia ingin ke belakang . Ketika perintahnya tidak diindahkan, ia berteriak "saya merasa dikentuti". Pernah pula ia mengutip cerita Sayuti Melik tentang kemaluannya yang ketembak. Namun, di lain pihak ia mahir menggunakan kata-kata bernilai sastra, "Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."

Dalam pidato 30 September 1965 ia sempat mengkritik pers yang kurang tepat dalam menulis nama anak-anaknya. Nama Megawati sebetulnya Megawati Soekarnaputri, bukan Megawati Soekarnoputri. Demikian pula dengan Guntur Soekarnaputra.

Di balik pidato

Apa yang disampaikan Soekarno dalam pidato-pidatonya merupakan bantahan atas apa yang ditulis media. Monopoli informasi sekaligus monopoli kebenaran adalah causa prima dari Orde Baru. Umar Wirahadikusumah mengumumkan jam malam mulai 1 Oktober 1965, pukul 18.00 sampai 06.00 pagi, dan menutup semua koran kecuali Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Koran-koran lain tidak boleh beredar selama seminggu. Waktu sepekan ini dimanfaatkan pers militer untuk mengampanyekan bahwa PKI ada di belakang G30S.

Meski masih berpidato dalam berbagai kesempatan, pernyataan BK tidak disiarkan oleh koran-koran. Bila Ben Anderson di jurnal Indonesia terbitan Cornell mengungkapkan hasil visum et repertum dokter bahwa kemaluan jenderal tidak disilet dalam pembunuhan di Lubang Buaya 1 Oktober 1965, jauh sebelumnya Soekarno dengan lantang mengatakan, 100 silet yang dibagikan untuk menyilet kemaluan jenderal itu tidak masuk akal.

Dalam pidatonya terdengar keluhan. Misalnya, di Departemen P dan K orang-orang yang mendukung BK dinonaktifkan. Sebetulnya seberapa drastiskah merosotnya kekuasaan yang dipegangnya?

Presiden Soekarno masih sempat melantik taruna AURI dan berpidato dalam peringatan 20 tahun KKO. Paling sedikit Angkatan Udara, Marinir, dan sebagian besar tentara Kodam Brawijaya masih setia kepada Bung Karno. Tetapi kenapa ia hanya sekadar berseru "jangan gontok-gontokan antarangkatan bersenjata". Kenapa ia tidak memerintahkan tentara yang loyal kepadanya untuk melawan pihak yang ingin menjatuhkannya?

Soekarno tidak ingin terjadi pertumpahan darah sesama bangsa. Dalam skala tertentu, yang tidak diharapkan Bung Karno itu telah terjadi setelah ia meninggal . Demikian pula yang kita lihat hari ini di Aceh. Sebuah wilayah yang pada tahun 1945 para ulamanya menyerukan rakyat mereka untuk berdiri di belakang Bung Karno. (*Dr Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI) ► e-ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Baca selengkapnya>>

RESENSI BUKU: REKAYASA SOSIAL

JUDUL : REKAYASA SOSIAL: REFORMASI, REVOLUSI, ATAU MANUSIA BESAR
PENULIS : JALALUDDIN RAKHMAT
PENERBIT : REMAJA ROSDAKARYA
TEBAL BUKU : 223 HALAMAN
TAHUN TERBIT : 1999


Buku ini pada intinya berisi argumentasi penulis yang mengatakan bahwa perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial harus diawali dengan perubahan cara berpikir. Tidak akan mungkin perubahan dapat terjadi jika manusia masih terjebak dalam pola pikir yang salah. Hal ini pula yang menjadi misi penulis dalam menerbitkan kumpulan materi kuliah ini menjadi sebuah buku, yakni untuk merubah pola pikir masyarakat yang sering kali oleh pihak-pihak tertentu diberikan pengacauan intelektualitas, demikian istilah penulis untuk menggambarkan kondisi ini.

Ketika membahas masalah sosial maka kita juga perlu untuk membahas berbagai bentuk dari kesalahan pemikiran yang digunakan manusia dalam memperlakukan masalah sosial yang disebut oleh para ilmuwan dengan sebutan intellectual cul-de-sac yang menggambarkan kebuntuan pemikiran. Penulis mengungkapkan ada dua jenis kesalahan berpikir, yakni intellectual cul-de-sac yang terjadi akibat penggunaan logika yang tidak benar dan mitos, yaitu sesuatu yang tidak benar, tetapi dipercayai oleh banyak orang termasuk oleh para ilmuwan. Dua bentuk kesalahan ini acapkali menghampiri kita dan membuat pemahaman kita terhadap masalah sosial yang dikritisi menjadi tidak tepat dan pada akhirnya tidak bisa menemukan solusi tepat.

Secara umum, intellectual cul-de-sac terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

a. Fallacy of Dramatic Instance
Pemikir jenis ini biasa melakukan apa yang disebut penulis sebagai over-generalisation, yakni penggunaan satu atau dua kasus untuk menggambarkan kondisi sebara umum (general). Padahal setiap masalah meskipun memiliki kesamaan tipe pastilah berbeda secara kondisional. Kita tidak jarang melakukan over-generalisation ini saat memandang dan menilai seseorang atau sesuatu.

b. Fallacy of Retrospective Determinism
Istilah ini menggambarkan kebiasaan orang untuk melihat suatu masalah sosial yang sedang terjadi dengan melacaknya secara historis dan menganggapnya selalu ada dan tak bisa dihindari. Kerancuan seperti ini pada akhirnya membuat kita bersikap fatalis, menyerah pada keadaan, dan selalu melihat kebelakang. Akhirnya, ide-ide untuk mengeluarkan gagasan-gagasan perubahan tidak bisa diaktualisasikan. Misalnya, orang yang berpendirian tipe ini akan menganggap masalah kemiskinan sebagai masalah yang sudah sejak dulu ada sepanjang sejarah bangsa dan tidak bisa diberantas, maka untuk apa kita meributkan upaya untuk memberantas kemiskinan itu? Bayangkan kalau setengah saja dari populasi rakyat Indonesia berpikiran seperti ini maka kemiskinan akan sangat sulit diberantas.

c. Post Hoc Ergo Propter Hoc
Maksudnya apabila ada satu peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita menyebabkan hal pertama sebab dan hal kedua akibat. X datang sesudah Y, maka Y dianggap sebagai sebab dan Y akibat. Padahal keadaan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa tsb. Untuk lebih jelasnya diberikan contoh :
Ada orangtua yang lebih mencintai seorang anak dibandingkan anak lain hanya karena orang tua itu kebetulan naik pangkat atau ekonominya menjadi lebih stabil setelah kelahiran anak kedua. Ketika zaman anak pertama, keadaan jauh lebih buruk. Orang tua itu berkata : “inilah anak emas saya. Anak ini selalu membawa keberuntungan”. Itulah sebabnya orangtua lebih mencintai anak keduanya daripada yang lain.
Pemikiran tipe ini dapat mengakibatkan kita tidak tepat dalam melihat sebab dan akibat dari suatu permasalahan sosial dan akhirnya tidak tepat dalam menentukan solusi untuk mengatasinya.

d. Fallacy of Misplaced Concretness
Tipe ini bisa dimaknai sebagai kekeliruan berpikir yang terjadi karena kita seolah-olah menganggap persoalan yang sedang dibicarakan itu konkret padahal pada kenyataannya ia sangat abstrak. Atau dapat dikatakan, kita mengonkretkan sesuatu yang sejatinya adalah abstrak. Misalnya ada pertanyaan: mengapa umat islam secara ekonomi dan politik lemah? Jawabannya : kita lemah karena sistem. Saat ini kita kembali ke zaman jahiliyah. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya : kita harus mengubah sistem, tetapi sistem itu sendiri pada dasarnya abstrak. Dan kita memandang sistem itu mudah berubah karena kekonkretannya. Contoh lainnya adalah ungkapan yang mengatakan: ”ini semua sudah takdir Allah”. Ketika terjadi permasalahan sosial dan kita menganggapnya sebagai takdir Allah, maka selesailah sudah perdebatan karena orang cenderung merasa tidak ada lagi yang dapat dilakukan.

e. Argumentum ad Verecundiam
Berargumen atas dasar otoritas. Ada orang yang sering kali berbicara menggunakan otoritas yang telah diakui keberadaannya sebagai dasar pijakan yang kuat baginya untuk berargumentasi. Padahal kalau mau ditelusuri, secara kontekstual, ia bisa saja dipahami secara berbeda. Orang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri.
Misalnya : si A mengutip ayat al-Qur’an untuk memaksa lawannya berhenti dengan argumentasinya (apabila ia membantah ayat tsb dikatakan kafir karena tidak mengindahkan perintah yang ada dalam Qur’an). Padahal bisa saja timbul perbedaan pendapat dalam interpretasi makna ayat tersebut. Dan kalaupun si B ingin membantah yang ingin ia katakan adalah penyalahgunaan otoritas Qur’an bukan pada ayat itu sendiri.

f. Fallacy of Composition
Untuk tipe pemikiran ini, penulis telah memberikan contoh yang menarik, yakni ketika ada satu keluarga disatu kampung yang memelihara ayam petelor mendapatkan untung besar. Melihat itu, berbondong-bondong masyarakat di kampung itu latah beternak ayam petelor dengan harapan bisa meraih untung besar. Akibatnya, mereka semua satu penduduk itu bangkrut karena banyaknya pasokan telur tidak diimbangi dengan permintaan pasar.

g. Circular Reasoning
Artinya logika yang berputar-putar. Pembicaraan yang dilakukan tak terarah dan mengulang hal-hal yang telah dibicarakan sebelumnya.

Sedangkan mitos, penulis membahas dua jenis mitos, yaitu:

a. Mitos Deviant
Mitos ini berawal dari pandangan bahwa masyarakat itu stabil, statis, dan tidak berubah-ubah. Kalaupun terjadi perubahan, maka perubahan itu adalah penyimpangan dari sesuatu yang stabil. Mitos ini berkembang dari teori ilmu sosial yang disebut structural functionalism (fungsionalisme struktual). Menurut teori ini, kalau mau melihat perubahan sosial, kita harus mau melihat struktur dan fungsi masyarakat. Jadi kalau ada dinamika sosial, maka harus ada statistika sosial.
Analisis fungsional bisa dilakukan, misalnya dalam memandang persoalan kemiskinan. Kemiskinan meskipun ia tidak diinginkan, namun secara fungsional tetap diperlukan. Orang miskin diperlukan untuk melakukan pekerjaan2 berbahaya yang tak mungkin dilakukan orang kaya, orang miskin memberikan pekerjaan kpd LSM yang meneliti prospek kemiskinan di suatu negara, dll.
Jika analisis fungsional ini terus menerus dilakukan dan dijadikan rujukan, kita bisa menjadi pro status quo. Kita melihat perubahan tidak lagi sesuatu yang diharapkan. Misalnya pelacuran, akan dianggap memiliki fungsi untuk mencegah suami-suami yang akan berpoligami.

b. Mitos Trauma
Perubahan mau tidak mau menimbulkan reaksi. Bisa berbentuk krisis emosional dan stress mental. Perubahan juga berpotensi menimbulkan disintegrasi pada awalnya. Bisa berbetuk disintegrasi sosial dan disintegrasi individual.
Misalnya : ada teori yang dinamakan Cultural Lag (kesenjangan kebudayaan). Perubahan yang terjadi disuatu tempat belum tentu terjadi di tempat lain pada waktu yang bersamaaan. Dan apabila kedua ini bersatu, berpotensi menimbulkan “kegamangan”.
Contoh : sebuah perusahaan yang telah dilengkapi peralatan komputer canggih, namun karyawan2nya tidak mau atau belum belajar mengoperasikannya. Walhasil, komputer hanya menjadi pajangan untuk memperlihatkan “kelas” dari perusahaan tersebut.

Perubahan sosial juga berpotensi menimbulkan krisis. Orang yang tidak siap dengan perubahan cenderung bersikap antipati terhadap perubahan. Orang menolak perubahan biasanya disebabkan karena basic security nya terancam. Jadi, ia merasa lebih nyaman dengan keadaan yang lama. Sikap antipati ini membuat orang menciptakan defensive mechanism. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial juga mendatangkan masalah sosial baru.

Perubahan sosial juga berpotensi menimbulkan krisis. Orang yang tidak siap dengan perubahan, yakni golongan orang yang sudah merasa nyaman dengan kondisinya saat ini cenderung bersikap antipati terhadap perubahan. Sikap antipati ini membuat orang menciptakan defensive mechanism. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial juga mendatangkan masalah sosial baru.
Selanjutnya penulis mengungkapkan makna dari rekayasa sosial yang sebenarnya dapat dengan mudah kita temukan dikehidupan sehari-hari.

Ada dua macam bentuk perubahan sosial, yakni perubahan sosial yang terjadi secara terus-menerus, tetapi berlangsung secara perlahan tanpa kita rencanakan disebut unplanned social change (perubahan sosial yang tidak terencana). Hal ini disebakan oleh perubahan dalam bidang teknologi atau globalisasi. Bentuk kedua adalah perubahan sosial yang kita rencanakan tujuan dan strateginya yang disebut planned social change (perubahan sosial terencana). Seringkali disebut juga dengan istilah social engineering atau social planning. Contoh dari planned social change adalah pembangunan (development) yang berkisar pada bagaimana mengubah satu masyarakat dengan mengubah sistem ekonominya yang biasanya berpegang pada Ekonomi Klasik. Penulis mengatakan bahwa sebenarnya selama Orde Baru kita telah melakukan rekayasa sosial dengan pola development.

Bab terakhir penulis memaparkan tentang revolusi. Pada umumnya, revolusi terjadi ketika banyak orang merasa tidak puas dengan keadaan yang terjadi. Krisis yang melanda menuntut hadirnya suatu perubahan fundamental dan holistik, adanya reformasi yang mungkin sebelumnya sudah terjadi dirasa berjalan terlalu lamban dan tidak menyelesaikan permasalahan. Dari kondisi inilah kemudian perubahan total dianggap perlu sebagai jawaban, perubahan ini disebut revolusi.

Revolusi sendiri dapat diartikan sebagai bentuk dari perubahan sosial yang paling spektakuler yang menyentuh seluruh aspek kehidupan berbangsa, dalam buku tersebut bahkan dikatakan bahwa revolusi menutup satu zaman dan membuka zaman baru tanpa menyisakan hal apapun seperti sebelumnya.

Revolusi memang perubahan yang cepat, tetapi tidak semua perubahan yang cepat disebut revolusi. Menurut Sztompka, setidaknya ada lima ciri dari revolusi yang membedakannya dari perubahan sosial lainnya:

1. Revolusi menghasilkan perubahan dengan skala paling luas dan menyentuh seluruh dimensi kehidupan masyarakat.

2. Perubahan pada revolusi bersifat radikal, fundamental, dan mengakar pada inti permasalahan.

3. Perubahan terjadi dengan sangat cepat.

4. Revolusi menunjukkan perubahan yang paling nyata; karena itu paling dikenang.

5. Revolusi menimbulkan reaksi emosional dan intelektual yang besar dari seluruh pihak.

Penulis selanjutnya memaparkan empat mazhab teori revolusi yang masing-masing memiliki karakter khusus, yakni:

1. Mazhab Behavioral
Inti dari mazhab ini adalah revolusi ditandai dengan perubahan perilaku manusia yang fundamental. Teori ini dikemukan oleh Pitirim Sorokin pada tahun 1925 dimana ia melihat berdasarkan pengalamannya saat Revolusi Rusia tahun 1917. Ia mengatakan bahwa dalam revolusi selalu terjadi penyimpangan perilaku individu. Hal ini dapat terjadi karena adanya represi (tekanan) dari elite penguasa terhadap kebutuhan masyarakat. Adanya kekecewaan dan kemarahan yang dirasakan rakyat pada puncaknya akan menghadirkan revolusi yang dilakukan rakyat terhadap penguasa.

2. Mazhab Psikologis
Menurut teori ini, revolusi terjadi akibat adanya perbedaan antara situasi yang diharapkan dengan kenyataan di lapangan. Meskipun demikian, tidak semua penderitaan menimbulkan pemberontakan. Untuk mencapai revolusi, masyarakat harus merasakan adanya pernderitaan dan ketidakadilan tersebut. Penulis mengambil contoh kondisi di Indonesia yang ada sekian juta masyarakat miskin namun tidak memberontak. Mereka tidak melihat kemiskinan itu sebagai bentuk ketidakadilan, tetapi mereka menganggap bahwa menjadi miskin adalah takdir hidupnya. Hal inilah yang menurut penulis menjadi penyebab mengapa Indonesia belum terjadi revolusi.

3. Mazhab Struktural
Menurut mazhab ini, penyebab revolusi berasal dari struktural antara warga negara dan negara yang besifat makrostruktural, bukan pada tataran individual.

4. Mazhab Politik
Mazhab ini melihat revolusi sebagai bentuk politik dari pihak-pihak yang ingin mengendalikan negara.

Sebagai penutup, penulis menegaskan bahwa manusia dapat menguraikan revolusi, tetapi manusia tidak akan pernah bisa meramalkan kapan revolusi akan terjadi. Penulis pun mengatakan bahwa sebaiknya kita mengatakan saja dengan rendah hati: ”Wallahu a’lam”.

Salah satu keunggulan buku ini adalah kemampuan penulis untuk mengilustrasikan teori dalam contoh-contoh menarik dan tak jarang merupakan pengalaman pribadinya.

Sebagai penutup dari saya, buku ini sangat menarik untuk dibaca. ^-^=

Baca selengkapnya>>

BAGAIMANA MELAKUKAN ANALISIS SOSIAL?

mas mulyadi

Catatan Pendahuluan
Istilah analisis sosial atau analisis kemasyarakatan tidak selalu dipakai dalam arti yang sama. Dalam arti sempit dimaksudkan usaha untuk menganalisis suatu keadaan atau masalah sosial secara objektif, terlepas dari soal siapa akan membuat apa dengan analisis itu kemudian. Jadi, analisis sosial bukanlah alat bantu siap pakai untuk membereskan masalah-masalah sosial.

Dalam arti luas, analisis sosial dalam arti sempit tadi dipakai dalam hubungan dengan usaha mengubah keadaan atau memecahkan masalah yang dianalisis. Jadi, analisis sosial mencoba mengaitkan analisis ilmiah dengan kepekaan etis, artinya memperhatikan dan memikirkan tindakan yang mau dilaksanakan. Dalam arti ini, analisis sosial mengandaikan dan mengandalkan nilai-nilai etis tertentu. Analisis dipergunakan sebagai alat saja untuk memperjuangkan tujuan tertentu. Maka, kedua pengertian ini tidak bertentangan, sebab analisis dalam arti pertama selalu harus mendasari analisis dalam arti luas.


Langkah-langkah kongkret Analisis Sosial
Metode analisis sosial ini dapat dipergunakan untuk menganalisis satuan-satuan sosial (misalnya desa, Ormas), masalah-masalah sosial (misalnya pengangguran, narkoba, masalah kepelajaran/pendidikan) lembaga-lembaga sosial (misal sekolah, proyek pembangunan). Dls. Langkah-langkah konkret berikut ini pertama-tama dimaksudkan untuk ditempuh bersama-sama dalam bentuk kelompok kerja oleh orang yang berkepentingan atau berminat, Biasanya didampingi oleh seseorang yang sudah berpengalaman dan/ atau yang bisa membantu sebagai nara sumber.

Langkah 1-6 merupakan usaha mengadakan, mengatur dan mempersiapkan bahan analisis. Dalam langkah 7-10 bahan itu dianalisis secara mendalam. Langkah 11 merupakan refleksi etis (teologis). Langkah 12 adalah awal pemanfaatan usaha analisis demi praksis dan politik yang kreatif. Kalau ada waktu secukupnya, maka semua langkah bisa dijalankan satu demi satu. Kalau waktu tidak cukup luas, maka sekurang-kurangnya beberapa langkah penting sebaiknya dijalankan dengan memakai bahan bantuan dari pendamping analisis.

Langkah - Langkah Konkret – Praktis
1. Memilih dan menentukan sasaran analisis. Pilihan itu harus didasari oleh alasan-alasan yang masuk akal.
2. Masing-masing peserta kelompok mengungkapkan dan mempertanggungjawabkan pendirian pribadi. Dengan kata lain, premis-premis nilai mereka yang hendak menjadi landasan dan tolak ukur sementara dalam usaha menganalisis sasaran yang sudah dipilih. Langkah ini lebih merupakan tukar pikiran (sharing) daripada diskusi dan mengadaikan keterbukaan untuk koreksi atau pengembangan pendirian itu.
Deskripsi: seperti apa keadaannya?
3. Mengumpulkan fakta dan data dalam segala bentuk (a.l. pengalaman, informasi lisan, statistik, laporan, angket kecil, observasi, guntingan koran) yang masih bersifat agak kebetulan dan kurang teratur (brainstorming). Dengan demikian dapat diperoleh sekedar deskripsi masalah yang hendaknya tidak dicampuradukkan dengan penilaian pribadi.
4. Mengelompokkan fakta dan data tersebut secara pragmatis ke dalam tiga kolom bidang kehidupan masyarakat, yaitu: (a) politik, (b) ekonomi dan (c) sosio-budaya. Seperlunya dan sesuai dengan sasaran analisis dapat ditambah satu kolom lagi, misalnya (d) IRM/ Muhammadiyah. Ke dalam kolom-kolom itu bisa dimasukkan fakta dan data tambahan, terutama yang menyangkut kerangka dan masalah-masalah nasional, umpamanya dengan bantuan istilah-istilah klasifikasi dari ketiga bidang di atas.
5. Fakta dan data dalam masing-masing kolom itu dirangkum secara sistematis per kolom ke dalam kira-kira 10 rumusan pokok yang mengungkapkan suatu masalah, hubungan sebab akibat, dst. Secara singkat, mengena dan padat; jadi jangan terlalu umum atau terlalu khusus. Seringkali satu atau dua kata kunci (antar kurung bisa ditambah beberapa kata konkretisasi) sudah memadai dan paling mudah untuk kerja kelompok selanjutnya. Sekedar contoh: birokrasi (berbelit-belit, simpang siur, kaku, sewenang-wenang); jurang kaya-misin melebar (kemewahan, pemborosan, pendapatan).
6. Memberikan bobot terhadap rumusan-rumusan pokok di dalam masing-masing kolom itu menurut mendesaknya (masalah besar) dan/atau pentingnya (faktor strategis) kenyataan yang diungkapkan oleh tiap-tiap rumusan. Langkah ini juga bisa ditempuh lewat pemberian nilai bobot secara kuantitatif (nilai 10 untuk rumusan terpenting, nilai 9 untuk urutan kedua, dst) oleh masing-masing peserta. Kemudian hasilnya dijumlahkan dan dibahas bersama sehingga kelompok masih bisa mengadakan perubahan secara mufakat. Pembobotan ini hendak berdasarkan pengetahuan, tetapi jelas juga mengandung nilai-nilai.
Analisis mengapa keadaan itu demikian? Apa latar belakangnya?
7. Terhadap bahan yang sudah disiapkan ini perlu dikemukakan pertanyaan terus-menerus: Mengapa semua itu demikian? Apa sebab-musababnya yang lebih mendalam? Dengan perkataan lain, perlulah membongkar struktur-struktur dalam (vertical analysis) dari rumusan masalah dalam masing-masing kolom di atas (misalnya dengan menghubung-hubungkan mereka dengan anak-anak panah). Dalam hal ini, para peserta juga bisa bertitik tolak dari beberapa analitis (yang berguna pula untuk meninjau kembali hasil analisis), misalnya:
a. Politik:
- Bagaimanakah pembagian kuasa?
- Siapa yang mengambil keputusan?
- Siapa yang tidak diikutsertakan?
- Siapa yang diuntungkan oleh keputusan-keputusan itu? Siapa yang dirugikan?
- Bagaimana cara dan proses pengambil keputusan?
- Golongan dan kelompok masyarakat manakah (baik formal maupun informal) yang mempunyai pengaruh politis?
- Siapa yang memiliki dan mengawasi alat-alat kuasa (lembaga-lembaga hukum, polisi, tentara)? Peranan konstitusi?
- Pola organisasi dan wibawa (kuasa) manakah yang dianut?
- Dalam bentuk apa rakyat berpartisipasi dalam politik?
- Apakah ada aliran-aliran politik yang berbeda-beda?
- Siapa memperjuangkan ideologi mana dan tujuan politik mana?
- Bagaimanakah hubungan antara negara dan agama-agama?
b. Ekonomi:
- Bagaimanakah produksi (organisasi, teknologi), perdagangan, pembagian dan konsumsi barang-barang dan jasa-jasa diatur?
- Sistem dan kebijaksanaan ekonomi manakah yang diandalkan?
- Bagaimanakah hubungan antara modal dan tenaga kerja?
- Siapa yang diuntungkan oleh tata dan kebijakan ekonomi itu? Siapa yang dirugikan?
- Apakah peranan uang, bunga uang, dsb?
- Siapa yang menguasai sumber-sumber daya alam?
- Bagaimanakah pembagian milik harta?
- Siapa yang mempunyai sarana-sarana produksi (tanah, modal, teknologi, pendidikan)? Adakah konsentrasi kuasa ekonomi?
- Apa akibat-akibat dari cara prduksi dan konsumsi bagi lingkungan hidup dan alam?
- Sejauhmana ada pengaruh-pengaruh ekonomi internasional?
c. Sosio-budaya:
- Nilai-tradisi dan lambang manakah yang dianut dan diandalkan oleh masing-masing golongan masyarakat?
- Bagaimana semua itu tampak dalam bahasa sehari-hari?
- Agama daan idelogi mempunyai pengaruh apa?
- Nilai, ideologi dan “mitos” manakah yang menentukan politik dan ekonomi?
- Manakah sikap-sikap dan harapan-harapan pokok yang terdapat dalam masyarakat?
- Hubungan-hubungan sosial manakah yang paling penting dalam masyarakat? Dalam struktur dan institusi sosial mana hubungan tersebut diwujudkan?
- Apakah ada masalah-masalah sosial yang khusus?

8. Mencari kesamaan dan perbedaan antara hubungan-hubungan dalam itu (cross analysis) dengan membandingkan hasil analisis vertikal dalam masing-masing kolom. Sehubungan dengan itu bisa ditanyakan a.l:
 Manakah ciri-ciri khas yang sama di semua bidang hidup masyarakat?
 Apakah yang akhirnya memapankan masyarakat seluruhnya itu?
 Adakah salah satu bidang atau segi yang sangat dominan?
 Apakah ada ketegangan atau pertentangan antara satu bidang dengan bidang lainnya?
 Apakah terdapat gejala ke arah konflik dan masalah yang harus dihadapi di masa depan?
 Segi historis: bagaimana semua itu terjadi? Masa depannya?

9. Meninjau dimensi historis dari semua hasil analisis di atas, misalnya dengan bertanya:
- Bagaimana keadaan sekarang bisa diterangkan secara historis? Apakah ada periode, peristiwa-peristiwa dan saat-saat peralihan yang sangat penting?
- Apakah ada perubahan-perubahan besar dalam tahun-tahun terakhir ini? Apakah ada dinamika perkembangan tertentu dalam masing-masing bidang atau masyarakat keseluruhan?
- Ke arah masa depan tendensi apa saja yang terasa dan sudah tampak?
- Apa kiranya akan terjadi sepuluh tahun lagi kalau keadaan dewasa ini diteruskan saja dan tidak berubah?
- Apakah ada sumber-sumber daya cipta dan harapan?
Menyusun sekedar rangkuman hasil analisis, misalnya dengan merumuskan sejumlah tesis pokok (masing-masing 1-3 kalimat), yang merupakan semacam “hukum-hukum umum” (prinsip-prinsip yang dalam kenyataannya menentukan) di belakang keadaan atau masalah yang diselidiki. Tepat tidaknya tesis-tesis itu perlu ditinjau kembali terus menerus apakah sungguh berdasarkan dan sesuai dengan fakta dan data yang sudah dikumpulkan.

11. Meninjau kembali dan menyoroti secara kritis premis-premis nilai yang diutarakan oleh para peserta kelompok dalam tahap kedua. Dalam hubungan ini perlu diperiksa dan dibahas bersama-sama, dengan memperhatikan hasil analisis, apakah nilai-nilai itu memang “berguna, berarti, masuk akal dan dapat diwujudkan”. Sebagai titik tolak dapat diajukan pertanyaan seperti misalnya:
- Bagaimana saya mengalami kenyataan yang dianalisis itu?
- Bagaimana saya mengartikan dan menilainya?
- Di mana tempat saya dalam kenyataan itu?

Dari pertanyaan semacam itu akan timbul sejumlah keprihatinan manusiawi (yang seharusnya menantang orang-orang beriman untuk merumuskan keprihatinan iman mereka).
Berdasarkan refleksi itu, kelompok mencari kesepakatan tentang nilai dan tujuan konkret yang hendak dipegang dan diperjuangkan bersama-sama (usaha ini merupakan refleksi teologis kalau dijalankan berdasarkan iman).
Keputusan: apa yang bisa dibuat? Apa yang akan kita buat?
12. Menarik beberapa kesimpulan tentang apa yang ingin dan bisa diusahakan secara perorangan atau bersama-sama. Seberapa konkret kesimpulan itu, memang sangat tergantung dari bentuk analisis yang diadakan, yaitu apakah pertama-tama sebagai latihan ataukah sebagai usaha nyata dari suatu kelompok yang hidup atau bekerja bersama. Dalam menyusun suatu kebijakan atau program kerja perlu diperhatikan “apa yang yang dapat dijangkau”, mengingat bermacam-macam halangan dan hambatan yang selalu ada. Perlu juga perencanaan dengan strategi yang hendak ditempuh, prioritas-prioritas serta operasionalisasi dari semua itu.
valuasi: Sejauh mana tindakan yang diambil berhasil?
- Apa yang dicapai? Apa yang tidak berhasil?
- Manakah efek-efek sampingan yang tidak diinginkan?
- Mengapa ada kegagalan? Apakah ada kesalahan dalam analisis? Ataukah dalam perencanaan? Ataukah dalam pelaksanaan?

Baca selengkapnya>>

Nasi Merah Langganan Keraton

Senin, 24 Mei 2010 | 13:41 WIB. www.tempointeraktif.com/
Kuliner Nasi Merah. TEMPO/Akbar Tri Kurniawan

TEMPO Interaktif, Gunungkidul - Nama restoran ini Nasi Merah Mbah Jirak. Lokasinya di dekat jembatan Jirak yang tersohor. Tepatnya di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul, sekitar 46 kilometer dari Kota Yogyakarta. Nama Jirak diambil dari nama sungai yang melintas di bawah jembatan itu. Sedangkan nasi merah dengan sayur lombok ijo-nya merupakan menu utama restoran ini.

Restoran tradisional khas Gunungkidul ini milik Arjo Martono dan Wasikem. Kini putri pasangan suami-istri itu, Suyatmi, yang mengelolanya. Pelanggannya banyak dan dari semua kalangan, bahkan Sri Sultan Hamengku Buwono X menjadi pelanggan setia.
Menurut Suyatmi, rombongan Raja Keraton Mataram Yogyakarta itu kerap mampir di resto ini saat melakukan kunjungan kerja ke Gunungkidul. Tapi Sultan dan istrinya, Ratu Hemas, kata Suyatmi, juga sengaja mampir hanya untuk menyantap nasi merah lombok ijo. "Setiap tahun bisa dua kali makan di sini," katanya.

Memasuki restoran ini, tak terlihat hal istimewa. Seperti kebanyakan resto tradisional dengan tiang-tiang dan dinding bambu. Tapi para pelanggannya rela datang dari jauh dan melintasi Bukit Pathuk, yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan Gunungkidul.

Tidak berapa lama menunggu, pelayan akan mengantarkan satu bakul nasi merah. Disusul sayur lombok ijo, daun pepaya, trancam (seperti karedok), dan aneka lauk, seperti ayam kampung goreng, empal daging, babat, dan ikan wader.

Nasi merahnya masih mengepul. Rasanya tidak berbeda dengan nasi putih biasa, tapi lebih pulen. Sedangkan sayur lombok ijo terasa gurih dan pedas. Campuran bawang putih, bawang merah, dan santan membuat kuah sayur terasa nikmat dan sedap.

Beras nasi merah ini ditanam dan ditumbuk sendiri oleh pemilik warung. Suyatmi menuturkan bahwa nasi merahnya berasal dari padi gogo rancak (sawah tadah hujan). Tidak mudah memperoleh warna merah pada beras gogo. Menurut Suyatmi, jika padi digiling dengan mesin disel, warnanya tidak semerah jika padi ditumbuk di lesung. Makanya mereka menumbuk sendiri. "Agar warnanya tetap merah," kata Suyatmi kepada Tempo, Sabtu pekan lalu.

Menyantap nasi merah lombok ijo bisa ditambah daun pepaya. Lauk daun pepaya di Gunungkidul termasuk khas. Empuk dan tidak pahit. Menurut Suyatmi, rasa pahit dihilangkan dengan mencampurkan garam dan ujung jambu mete saat perebusan pertama. Setelah daun pepaya terasa empuk, sisa air dibuang dan daun pepaya dicuci. "Lalu dimasak lagi," kata Suyatmi.

Daun pepaya biasanya ditemani sambal terasi. Cocol saja, dijamin Anda merasakan pedas, yang membuat berkeringat dan mengipasi mulut. Nah, saat pedas seperti ini, Anda bisa mendapatkan sensasi segar dengan menyeruput jus jambu atau kelapa muda gula jawa yang asli hasil pertanian warga Gunungkidul.

Selain lauk berupa gorengan aneka daging, ada menu "ekstrem", yakni belalang goreng. Tampilannya terlihat mengerikan. Banyak orang akan mengernyitkan dahi saat melihatnya. Salah satu pengunjung, Isnendi Muhammad Fatwa, awalnya ogah mencicipi. Tapi karena rasa penasarannya lebih kuat, dia pun mencoba satu.

"Rasanya gurih," ujarnya sembari tersenyum. Rupanya mahasiswa Universitas Gadjah Mada itu jadi doyan. Mulutnya tak berhenti mengunyah gurihnya belalang.

Menurut Suyatmi, belalang itu diolah sendiri oleh adiknya. Resepnya sangat sederhana, yaitu mencampurkan bawang putih, garam, dan sedikit penguat rasa. Sebelum dimasak, isi perut belalang dibuang terlebih dulu. Dulu belalang mudah didapat, tapi sekarang mulai sulit. "Musim-musim tertentu saja adanya," katanya.

Resto milik Arjo ini merupakan warisan dari leluhurnya. "Sudah tiga keturunan," kata Suyatmi. Resto ini awalnya berupa warung kecil di pinggir jembatan Jirak saat warga Gunungkidul berjuang merebut kemerdekaan Indonesia. Saat jalan raya dan jembatan direnovasi, 18 tahun lalu, warung ini berpindah menjauh 50 meter dari jembatan.
Namanya yang tersohor dan menu masakan yang banyak diminati tidak membuat keluarga Arjo membuka cabang. "Tidak punya tanah di tempat lain," kata Suyatmi merendah. Meski banyak tawaran, keluarga Arjo tetap menampik. Keluarga Arjo sengaja mempertahankan keberadaan Nasi Merah Mbah Jirak hanya di Semanu, Gunungkidul.

Akbar Tri Kurniawan

MENU

Nasi Merah: Rp 15 ribu
Sayur Lombok Ijo: Rp 10 ribu
Ayam Kampung: Rp 26 ribu
Belalang Goreng: Rp 10 ribu
Ikan Wader: Rp 15 ribu
Empal Daging: Rp 40 ribu
Kelapa Muda: Rp 4.000
Jus Jambu: Rp 4.000

KOMENTAR

Kartika Nurahman, warga Yogyakarta

"Kombinasi makanan Jawa yang luar biasa. Manisnya pas, suasana oke, pedasnya oke. Nasi merahnya cukup unik, dan saya yakin bergizi tinggi."


Isnendi Muhammad Fatwa, mahasiswa UGM Yogyakarta

"Nasi merahnya enak, ayam gorengnya mantap, dan sambalnya dahsyat."

Baca selengkapnya>>

Narasi Gerakan KAMMI

Ada 6 Mihwar Gerakan KAMMI dalam membangun Indonesia:
1. Fase Ideologisasi (80-98)
Jujur saja, secara ideologis kammi lahir tidak di tahun '98. Ideologinya lahir sejak mula gerakan tarbiyah ini tiba di Indonesia, mungkin sekitar era 80-an. Di fase ini terjadi ideologisasi yang luar biasa di kalangan kaum muda dan berhasil menciptakan masyarakat muda dengan model baru di Indonesia. Ideologinya
mengajarkan Islam adalah segalanya, sehingga di antara perbedaan yang terasa adalah masyarakat ini tidak tersentuh dengan setuhan ideologi pancasila yang dipaksakan. Bahkan menganggap rezim berkuasa adalah musuh nyata yang harus ditumbangkan, dan digantikan dengan kebesaran Islam. Di sini tampak nyata bahwa kemenangan Islam adalah jiwa perjuangan kami.

2. Fase Resistensi (98-2004)
Ideologi gerakan tarbiyah ini masif di kampus. Pada saat badai krisis moneter menerjang menuju
krisis ekonomi dan politik, maka para aktivis dakwah kampus pun bersepakat mendirikan kesatuan aksi mahasiswa muslim indonesia. Sejak itu agenda-agenda resistensi kekuasaan semakin massif menjadi agenda perjuangan bangsa Indonesia. Satu hal yang pasti: rezim orba harus segera diakhiri. Kebatilan adalah musuh abadi kammi. Fase resistensi ini terus berlanjut hingga rakyat mendapatkan kesempatan
untuk menentukan pemimpin pilihannya sendiri.

3. Fase Reformulasi (2004-2009)
Fase ini pemerintahan baru dengan legitimasi kuat pilihan rakyat berjalan. Pada saat yang sama
struktur negara pun semakin kuat. Hadir Mahkamah Konstitusi, kokoh pula Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lembaga kenegaraan lainnya. Di fase ini masyarakat pun semakin kuat dengan gerakan kemandirian sivil lembaga swadaya masyarakatnya yang menunjukkan hadirnya format sosial baru di Indonesia. Mahasiswa pun hadir tidak lagi sebagai penyambung lidah rakyat, karena rakyat telah
berlidah sendiri untuk memperjuangkan aspirasinya. Mahasiswa dituntut untuk melakukan reformulasi negaranya dengan lebih strategis. Ini yang menjadi tantangan gerakan mahasiswa. KAMMI dalam hal ini menawarkan formulasi model kepemimpinan baru yang dikenal dengan model kepemimpinan muslim negarawan. Tawaran ini adalah cermin dari prinsip gerakan kammi, solusi Islam adalah tawaran perjuangan kammi.

4. Fase Rekonstruksi (2009-2014)
Fase 2009 sebenarnya adalah fase titik balik yang menentukan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Namun yang pasti setiap gerakan harus memiliki rencana strategis (renstra) di tengah turbulensi nasional dan global ini. rencana strategis di lima tahun ke depan adalah menggulirkan Narasi Rekonstruksi Kebangsaan. "Rekonstruksi" harus menjadi icon bagi pergerakan Indonesia. Rekonstruksi ini membawa agenda mentransformasikan demokrasi dari demokrasi formal saat ini menuju
demokrasi substansial. Demokrasi yang dibutuhkan bukan lagi keseimbangan kekuasaan (power sharing) antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, melainkan bagaimana rakyat dapat sejahtera, aman secara politik dan ekonomi, dan bermartabat secara budaya. Ini political content yang mesti digulirkan. Di antara political content yang harus dibangun adalah melandaskan ideologi pada kemanusiaan dan keindonesiaan, bukan lagi timur dan barat, atau utara dan selatan, dalam konteks keindonesiaan perlu
dibangun konsep nasionalisme baru, nasionalisme progresif bukan nasionalisme romantis, di titik ini para elit penguasa pun harus mampu membangun politik rekonsiliasi dalam rangka rekonstruksi keindonesiaan, gerakan mahasiswa pun harus lebih banyak tampil mempelopori gerakan-gerakan perbaikan dan konstribusi nyata dalam upaya rekonstruksi baik dari segi amal kemasyarakatan maupun
penyaiapan SDM unggulan.
Di sini, kammi harus mengkonstruk kader-kadernya meningkatkan keahlian di bidangnya dan bergerak sesuai kompetensinya. Kelak, kader yang kompeten di bidang ekonomi syariah bekerja keras memperbaiki resesi ekonomi di sektor real dan makro. Kader di kedokteran pun bekerja memberikan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat. Kader di bidang politik pun bersungguh-sungguh
membangun sistem terbaik bagi masyarakat. Para kader pengusaha menjadi perekrut pekerja terbanyak yang turut menyelamatkan ekonomi keluarga miskin dan menambah devisa negara. Agenda rekonstruksi di berbagai level ini sebagai bukti bahwa perbaikan adalah tradisi perjuangan kammi.

5. Fase Leaderisasi (2014-2019)
Bila dalam rentang lima tahun ini kammi berikut para alumnusnya berhasil merekonstruksi bangsa
ini, maka hanya kepercayaan yang akan diberikan masyarakat pada kammi untuk memimpin negeri ini. sudah saatnya umat ini tampil menjadi pemimpin negeri ini diberbagai sektornya, baik di pemerintahan, media, hukum, bidang ketahanan militer, teknologi, informasi, pelayanan, bisnis, rektorat kampus,
dan lain sebagainya. Tentu di fase ini usia kader kammi sudah tidak hanya 20 tahun level mahasiswa melainkan sudah ada yang seusia dengan nabi Yusuf yang layak memimpin negeri. Kepemimpinan harus merata di segala sektor. Yang pasti di fase ini, tidak hanya dari organ kammi (dan alumni) yang memimpin tapi dari organ lainnya yang memiliki jiwa kenegarawanan. Karena disadari yang menyadari
akan pentingnya rekonstruksi sudah sangat massif dan banyak yang ingin berperan. Tapi yang jelas semangat ini adalah implementasi dari spirit kepemimpinan umat adalah strategi perjuangan kammi.

6. Fase Internasionalisasi (2019-2024)
Jika bangsa ini telah bersatu dalam semangat reliji dan kebaikan, maka kebaikan Indonesia harus
diperluas untuk dirasakan oleh negeri lainnya. Karena itu Indonesia harus mengawali spirit global
partnership (kerjasama global) dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Ini adalah implementasi dari ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah, dan ukhuwah `alamiyah. Kammi berprinsip persaudaraan adalah watak mu'amalah kammi. Jika banyak negara merancang visi 2020, kammi lebih awal di tahun 2019 sudah menabuh genderang global partnership dari negara lainnya yang menghendaki pasar bebas sebebas-bebasnya dengan meyakini tesis pemenang dunia global adalah kapitalisme liberal. Kammi hanya meyakini dengan usaha perbaikan yang telah dilakukannya, kisah kapitalisme liberal Barat yang sangat rakus ini berhasil dihentikan di Indonesia dengan ekonomi barunya, ekonomi
spiritual.

Ini kira-kira kisah perjalanan gerakan peradaban yang telah dan akan kammi gulirkan. Sangat sulit
memprediksi masa depan krn membutuhkan riset yang berlaurt-larut, akan lebih baik jika kita membuat new map (peta baru) perjalanan Indonesia ke depan. Yang pasti, kammi bukanlah semata gerakan
mahasiswa, melainkan juga Harakah Islamiyah. Dan tantangan Harakah Islamiyah di seluruh dunia adalah bagaimana membumikan cita-cita peradabannya di negerinya hingga ke titik temu di dunia global. Semoga di perbedaan agenda gerakan ini, kita memiliki kesamaan tujuan dan persepsi.
Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah engkau di posisimu, sesungguhnya aku pun bekerja di posisiku, maka kelak kamu akan mengetahui." > (QS. Az-Zumar: 39)

Baca selengkapnya>>

Filosofi & Kredo Gerakan KAMMI

I. Filosofi

ASAS KAMMI

KAMMI berazaskan Islam. ini mengutamakan persaudaraan (ukhuwwah islamiyah) antar sesama mahasiswa muslim Indonesia dan bersifat Independen.

VISI KAMMI

KAMMI merupakan wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin masa depan yang tangguh dalam upaya mewujudkan masyarakat Islami di Indonesia.

MISI KAMMI

   1. Membina keislaman, keimanan, dan ketaqwaan mahasiswa muslim Indonesia.
   2. Menggali, mengembangkan, dan memantapkan potensi dakwah, intelektual, sosial, dan politik mahasiswa.
   3. Mencerahkan dan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang rabbani, madani (civil society).
   4. Memelopori dan memelihara komunikasi, solidaritas, dan kerjasama mahasiswa Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan kerakyatan dan kebangsaan.
   5. Mengembangkan kerjasama antar elemen masyarakat dengan semangat membawa kebaikan, menyebar manfaat, dan mencegah kemungkaran (amar maruf nahi munkar).

PRINSIP GERAKAN KAMMI

   1. Kemenangan Islam adalah jiwa perjuangan KAMMI
   2. Kebathilan adalah musuh abadi KAMMI
   3. Solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI
   4. Perbaikan adalah tradisi perjungan KAMMI
   5. Kepemimpinan umat adalah strategi perjuangan KAMMI
   6. Persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI

STATUS, IDENTITAS DAN PERAN

KAMMI adalah organisasi ekstra kampus yang menghimpun mahasiswa muslim seluruh Indonesia secara lintas sektoral, suku, ras dan golongan. KAMMI menghimpun segenap mahasiswa muslim Indonesia yang bersedia bekerjasama membangun negara dan bangsa Indonesia.

KAMMI berperan sebagai wadah dan mitra bagi mahasiswa Indonesia yang ingin menegakkan keadilan dan kebenaran dalam wadah negara hukum Indonesia melalui tahapan pembangunan nasional yang sehat dan bertanggung jawab.

KAMMI mengambil peran sebagai mitra bagi masyarakat dalam upaya-upaya pembangunan masyarakat sipil, demokratisasi dan pembangunan kesatuan/persaudaraan ummat dan bangsa melalui pendampingan/advokasi sosial, kritisi/konstruktif terhadap kebijakan negara yang memarginalisasi masyarakat.

Potret Dinamika KAMMI

Di awal pendiriannya, KAMMI merupakan sebuah jaringan aksi. Setelah tumbangnya rezimentasi Suharto, KAMMI mengalami perubahan format/bentuk pergerakan menjadi sebuah organisasi masyarakat kemahasiswaan ekstra kampus.Hal ini merespons tuntutan di masyarakat akan perlunya wadah bagi pembangunan kepemimpinan di kalangan pemuda terutama mahasiswa.Sejak pendiriannya, KAMMI sudah melakukan 5 (lima) kali Muktamar sebagai forum musyawarah tertinggi organisasi. Dinamika organisasi juga ditandai dengan berkembangnya/berdirinya KAMMI di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Ada beberapa aspek yang menjadi perhatian/concern bagi aktifitas KAMMI :

1. Aspek pembangunan SDM / kaderisasi

Kaderisasi dalam organisasi ibarat menyiapkan kelangsungan hidup/continuity organisasi. Merupakan upaya pembangunan karakteristik ke-Islaman, akidah, akhlaqul karimah, kepemimpinan dan intelektual. Dalam aspek ini meliputi aktifitas rekruitmen, pelatihan berjenjang, up-grading,kursus-kursus dan pembelajaran kepemimpinan baik di dalam organisasi maupun di luar organisasi. Hingga saat ini sudah ada riibuan kader yang telah direkrut dan kemudian sebagian besar kader menjadi pemimpin-pemimpin mahasiswa diberbagai lembaga-lembaga intra kampus maupun ekstra kampus.

2. Aspek Kebijakan Publik dan Intelektualitas

Merupakan aspek pengkritisan terhadap kebijakan-kebijakan negara atas masyarakat, kajian terhadap fenomena masyarakat pada skala lokal, nasional dan global. Kajian dan kritisi merupakan langkah awal untuk melakukan gerakan perubahan menuju perbaikan dan advokasi politik. Aspek ini meliputi telaah kebijakan-kebijakan pemerintahan, penerbitan-penerbitan hasil kritisi kebijakan maupun kontemplasi pemikiran dan pembangunan jaringan ummat pada beragam skala wilayah dan sosial. Pada aspek ini, agenda gerakan mahasiswa ditujukan sebagai pematangan kepemimpinan politik kafer,dan sumbangsih bagi perubahan bangsa.

3. Aspek Sosial Masyarakat

Beragam problem-problem sosial ada di sekitar kita; kemiskinan, keterbelakangan, kriminalitas, kualitas hidup yang rendah, bencana alam dan sebagainya. Problem ini menimbulkan kelemahan dan kerawanan sosial dan bahkan bisa mengancam daya tahan sebuah bangsa. Kepedulian KAMMI diwujudkan dalam bentuk pendampingan/advokasi masyarakat marginal, pendidikan masyarakat lemah, penanganan bencana alam,dan sebagai mitra bagi pemerintah dan organisasi lain untuk bersama mencari solusi atas problem sosial dan budaya.

4. Aspek Ekonomi

Sejumlah kader yang tersebar dalam 43 daerah/jaringan di seluruh Indonesia merupakan potensi ekonmi yang besar. Terlepas dari itu, bahwa pembangunan enterpreneurship dan ruang usaha/ekonomi adalah hal yang sangat penting untuk saat ini ke depan, terutama bagi generasi muda. Aspek ini diwujudkan dengan adanya gerakan Koperasi sebagai gerakan ekonomi KAMMI, pembangunan jaringan usaha baik lokal, nasional dan regional.

5. Aspek Hubungan Masyarakat

Perkembangan masyarakat semakin menuntut kecepatan transformasi informasi dan komunikasi. Dan hal ini sangat besar pengaruhnya bagi pembangunan interrelasi manusia baik secara inpidu maupun kolektif. Aspek ini menekankan pada pembangunan relasi antar inpidu dan institusi baik pada skala nasional maupun global.

6. Aspek Pembangunan Kemuslimahan/Kewanitaan

Masih belum terbangunnya daya gerak dan daya dukung kalangan perempuan (muslimah) telah melahirkan distorsi peran dan psosisi strategis kalangan muslimah dalam pembangunan. Faktor politik, sosial dan budaya yang masih pragmatif, feodal dan liberal telah melahirkan ketidakadilan yang meluas di kalangan wanita. Karena itu pembangunan aspek kemuslimahan ditujukan bagi terbangunnya keberdayaan peran muslimah di segala aspejk kehidupan.


II. Kredo

   1. Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan.
   2. Kami adalah orang-orang pemberani. Hanyalah Allah yang kami takuti. Tidak ada satu makhluk pun yang bisa menggentarkan hati kami, atau membuat kami tertunduk apalagi takluk kepadanya. Tiada yang kami takuti, kecuali ketakutan kepada selain-Nya.
   3. Kami adalah para petarung sejati. Atas nama al-haq kami bertempur, sampai tidak ada lagi fitnah di muka bumi ini. Kami bukan golongan orang yang melarikan diri dari medan pertempuran atau orang-orang yang enggan pergi berjihad. Kami akan memenangkan setiap pertarungan dengan menegakkan prinsip-prinsip Islam.
   4. Kami adalah penghitung risiko yang cermat, tetapi kami bukanlah orang-orang yang takut mengambil risiko. Syahid adalah kemuliaan dan cita-cita tertinggi kami. Kami adalah para perindu surga. Kami akan menyebarkan aromanya di dalam kehidupan keseharian kami kepada suasana lingkungan kami. Hari-hari kami senantiasa dihiasi dengan tilawah, dzikir, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, diskusi-diskusi yang bermanfaat dan jauh dari kesia-siaan, serta kerja-kerja yang konkret bagi perbaikan masyarakat.Kami adalah putra-putri kandung dakwah, akan beredar bersama dakwah ini ke mana pun perginya, menjadi pembangunnya yang paling tekun, menjadi penyebarnya yang paling agresif, serta penegaknya yang paling kokoh.
   5. Kami adalah orang-orang yang senantiasa menyiapkan diri untuk masa depan Islam. Kami bukanlah orang yang suka berleha-leha, minimalis dan loyo. Kami senantiasa bertebaran di dalam kehidupan, melakukan eksperimen yang terencana, dan kami adalah orang-orang progressif yang bebas dari kejumudan, karena kami memandang bahwa kehidupan ini adalah tempat untuk belajar, agar kami dan para penerus kami menjadi perebut kemenangan yang hanya akan kami persembahkan untuk Islam.
   6. Kami adalah ilmuwan yang tajam analisisnya, pemuda yang kritis terhadap kebatilan, politisi yang piawai mengalahkan muslihat musuh dan yang piawai dalam memperjuangkan kepentingan umat, seorang pejuang di siang hari dan rahib di malam hari, pemimpin yang bermoral, teguh pada prinsip dan mampu mentransformasikan masyarakat, guru yang mampu memberikan kepahaman dan teladan, sahabat yang tulus dan penuh kasih sayang, relawan yang mampu memecahkan masalah sosial, warga yang ramah kepada masyarakatnya dan responsif terhadap masalah mereka, manajer yang efektif dan efisien, prajurit yang gagah berani dan pintar bersiasat, prajurit, diplomat yang terampil berdialog, piawai berwacana, luas pergaulannya, percaya diri yang tinggi, semangat yang berkobar tinggi.

Baca selengkapnya>>

KILAS BALIK SEJARAH LAHIRNYA KAMMI


DASAR KEMUNCULAN

Kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) didasarka pada beberapa hal berikut:
1. Adanya indikator yang mematikan potensi bangsa.
2. Urgensi Sebuah Tuntutan Reformasi
3. Adanya Kepentingan Umat Islam Untuk Segera Berbuat
4. Aksi Demontrasi dan Mimbar Bebas Semakin Menjamur.
5. Mahasiswa Islam Merupakan Elemen Sosial.
6. Suara Umat Islam Mulai Terabaikan.
7. Depolitisasi Kampus Memandulkan Peran Mahasiswa.

WAKTU KELAHIRAN

KAMMI muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif Mahasiswa yang berbasis mahasiswa Muslim dengan mengambil momentum pada pelaksanaan Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X seindonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang. Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang berafiliasi dari 63 kampus (PTN-PTS) diseluruh Indonesia. Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200 orang yang notabenenya para aktifis dakwah kampus. KAMMI lahir para ahad tanggal 29 April 1998 PK.13.00 wib atau bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijah 1418 H yang dituangkan dalam naskah Deklarasi Malang.

PEMILIHAN NAMA

Pemilihan nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang kemudian disingkat KAMMI mengandung makna atau memiliki konsekwensi pada beberapa hal yaitu :

1. KAMMI adalah sebuah kekuatan terorganisir yang menghimpun berbagai elemen Mahasiswa.
2. Muslim baik perorangan maupun lembaga yang sepakat bekerja dalam format bersama KAMMI.
3. KAMMI adalah sebuah gerakan yang berorientasi kepada aksi real dan sistematis yang dilandasi gagasan konsepsional yang matang mengenai reformasi dan pembentukan masyarakat Islami (berperadaban).
4. Kekuatan inti KAMMI adalah kalangan mahasiswa pada berbagai stratanya yang memiliki komitmen perjuangan keislaman dan kebangsaan yang jelas dan benar.
5. Visi gerakan KAMMI dilandasi pemahaman akan realitas bangsa Indonesia dengan berbagai kemajemukannya, sehingga KAMMI akan bekerja untuk kebaikan dan kemajuan bersama rakyat, bangsa dan tanah air Indonesia.

PERJALANAN KEPENGURUSAN

Kepengurusan pertama adalah periode al-akh Fahri Hamzah, yakni sejak Deklarasi sampai Muktamar I di Bekasi pada bulan November 1998. Periode ini memfokuskan aktivitasnya kepada aktualisasi jaringan nasional untuk mengambil peran historis secara heroik dalam proses reformasi di Indonesia, yakni dengan menggiatkan aksi secara simultan, merata, kontinyu, dan menegaskan komitmen reformasi yang jelas. Periode ini adalah masa launching ke hadapan publik dan positioning awal KAMMI sebagai elemen gerakan mahasiswa yang diharap selalu mengambil peran terdepan dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Periode kedua adalah masa al-akh Fitra Arsil, yang terpilih untuk menggantikan akh Fahri dalam Muktamar I dan menjalankan amanah sampai Muktamar II di Yogyakarta pada bulan November 2000. Periode ini memiliki tugas untuk secara serius menata infrastruktur organisasi KAMMI yang establish dan merancang sistem kaderisasi KAMMI yang lebih terstruktur.Juga melakukan berbagai aksi sosial dan kemanusiaan untuk ikut mengatasi beban rakyat yang ditimbulkan oleh krisis berkepanjangan.

Periode ketiga adalah masa al-akh Andi Rahmat yang terpilih dalam Muktamar II KAMMI di Yogyakarta dan direncanakan menjabat sampai tahun 2002. Periode ini menekankan pentingnya positioning strategis KAMMI di tengah pluralitas gerakan yang ingin mewarnai proses transisi di Indonesia. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, akh Andi Rahmat menyatakan mundur dari jabatannya pada bulan Maret 2001. Menyikapi hal tersebut, Badan Permusyawaratan (BP) KAMMI Pusat berinisiatif untuk menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa (MLB) KAMMI di Bandung pada tanggal 20-22 April 2001. Muktamar tersebut memutuskan untuk merubah sistem kepemimpinan terpusat menjadi sistem kepemimpinan kolektif, yang akhirnya memilih sembilan orang sebagai anggota Pimpinan Pusat (PP) KAMMI, yakni:

Akbar Zulfakar (Ketua Umum);
Purwoko Kurniawan (Ketua Kaderisasi);
Muhammad Badaruddin (Ketua Kastrat);
Elvis Bakri (Ketua Teritorial/KT I);
Ach. Fauzi I. (KT-II);
Supriyadi (KT-III);
Hermawan (KT-IV);
Suparmono (KT-V); dan
Yusran (KT-VI).

Muktamar III Lampung tanggal 1-9 September 2002 memutuskan untuk memilih

Muhammad Hermawan, S.Si sebagai Ketua Umum dan
Fahmi Rusdi, LC sebagai Sekretaris Jendral,

juga dipilih anggota Pimpinan Pusat (PP) KAMMI, yakni
Marwansyah (Ketua Teritorial/KT I);
Febriansyah (KT-II);
Yuli Widi Astono (KT-III);
Teguh, ST (KT-IV);
Imron Rosyadi (KT-V); dan
M. Dwi Tanjuri(KT-VI),
Jauhari (KT-VII).

Sumber : KAMMI Pusat

Departemen Humas
Divisi Media

Baca selengkapnya>>

4/19/10

LAPORAN PELAKSANAAN LOKAKARYA HUMAS KAMMI SLEMAN

LAPORAN PELAKSANAAN
LOKAKARYA HUMAS KAMMI SLEMAN

PENDAHULUAN


Dalam gerakan kammi, khususnya kammi daerah sleman, humas mengambil peran yang sangat strategis namun belum optimal. Kerja-kerja humas masih sebatas menerbitkan bulletin dan kunjungan-kunjungan. Fungsi membangun opini dan dukungan public hingga rekayasa social-budaya masih belum mampu diampu. Terlebih melihat tim-tim humas kamda maupun komsat yang cukup minimalis dan belum memiliki karya yang diakui public. Demikian halnya kaderisasi dan regenerasi kader-kader yang mengisi pos humas masih terbatas, tidak berkesinambungan, dan kerap kali setiap generasi memulai dari awal. Atas dasar keresahan ini, lokakarya dibuat untuk merumuskan kebutuhan dan strategi/program bersama yang harapannya mampu menginisiasi humas (lembaganya dan kadernya) untuk terus belajar, bereksperimen, dan meningkatkan kualitasnya.

PELAKSANAAN
Lokakarya Humas KAMMI Sleman telah dilaksanakan pada hari Ahad, 18 April 2010 pukul 14.00-17.30 wib, bertempat di Kammiland. Peserta yang hadir berjumlah 11 orang yang berasal dari Komsat UII, Komsat UNY, Komsat UGM, dan Kamda.

Baca selengkapnya>>

3/25/10

Agenda Millad Ke 12 KAMMI Wilayah Jogja

Rangkaian Acara Milad Ke 12 KAMMI merupakan acara bersama KAMMI Wilayah, KAMMI Daerah dan KAMMI Komsisariat Se DIY. diselengggarakan full day pada 28 Maret 1998.

Baca selengkapnya>>

3/23/10

Aku Tulis Pamplet Ini


 Oleh : W.S. Rendra
Aku tulis pamplet inikarena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Baca selengkapnya>>

Sajak Orang-Orang Miskin

Oleh : W.S. Rendra

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Baca selengkapnya>>

GARDU DEMOKRASI MENDESAK KPUD SLEMAN MELAKUKAN PENJARINGAN PEMILIH MAHASISWA

Masyarakat Sleman tidak lama lagi akan menggelar hajatan ‘pesta demokrasi’ yakni Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Sleman pada tanggal 23 Mei 2010. Pemilukada Sleman merupakan manifestasi suara masyarakat sleman yang format dalam sistem demokrasi pemilihan langsung. Setiap warga Negara yang berhak memilih harus diakomodasi dan difasilitasi secara optimal oleh Pelaksana Pemilu (dalam hal ini KPUD Sleman). Hal ini adalah konsekuensi atas aturan undang-undang yang menaungi pelaksanaan Pemilukada.

Menyikapi apa yang berkembang dalam pentahapan Pemilukada Sleman, yang hari ini (24/3) KPUD melakukan Penetapan DPS, Gardu Demokrasi menilai KPUD Sleman tidak melakukan upaya yang optimal dalam melakukan sosialisasi dan penjaringan pemilih bagi pemilih, khsususny warga negara Indonesia yang telah menetap di Sleman setidaknya enam bulan terakhir. “Hak pilih bagi mahasiswa sebagai warga negara yang telah menetap di Sleman dijamin oleh konstitusi” Ujar Ahlul Badrito Koordinator Advokasi Pemilih. Rito menambahkan bahwa ada indikasi ini dilakukan sebagai bentuk kesengajaan. Bila benar disengaja, KPUD Sleman telah melanggar Peraturan KPU Nomor 66 Tahun 2009 Pasal 4 menyatakan bahwa setiap warga Negara (termasuk mahasiswa) yang yang berdomisili di wilayah pemilihan selama lebih dari enam bulan memilki hak suara.

Gardu Demokrasi melihat belum ada upaya nyata KPUD Sleman dan jajarannya hingga penetapan DPS untuk melakukan sosialisasi dan penjaringan pemilih secara keseluruhan, khususnya bagi Mahasiswa yang juga bagian dari warga negara Indonesia yang tinggal di Sleman. Untuk itu, mengingar hal ini adalah amanah UU, maka kami Gardu Demokrasi menyatakan:

Pertama, Menyayangkan minimnya proses sosialisasi dan penjaringan pemilih, khususnya bagi warga Negara yang telah menetap minimal enam bulan di Sleman.
Kedua, Sebagai amanah Undang-Undang, Gardu Demokrasi mendesak dilakukannya kebijakan progresif untuk segera melakukan sosialisasi dan menjaring seluruh warga Negara yang memiliki hak memilih sebagaimana diatur UU.

Keberadaan DIY, khususnya Sleman, sebagai sentra pendidikan di Indonesia hendaknya melahirkan tradisi dan perbaikan Demokrasi-Pemilukada di Indonesia. Hal ini harus dimulai dengan menerapkan UU secar konsekuen terbebas dari tarikan kepentingan yang justru mencedrai moralitas dan hukum demokrasi itu sendiiri. Gardu Demokrasi akan terus berupaya mengawal proses-prose Pemilukada Sleman agar tetap pada jalur pelaksanaan UU, penguatan Demokrasi, dan Upaya mewujudkan kemakmuran masyrakat.

Sleman, 24 Maret 2010



Ahlul Badrito Resha
Koordinator Advokasi Pemilih

Baca selengkapnya>>

Followers

KAMMI DAERAH SLEMAN ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

SIGN IN